Kamis, 09 Oktober 2014

Penilaian Acuan Patokan (PAP) dan Penilaian Acuan Norma



Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Apabila kita membaca hasil penilaian terkandung pengertian bahwa hasil belajar tersebut menunjukan kemampuan peserta didik bergerak dari “tidak menguasai materi pelajaran”; “menguasai”; sampai pada tahap “sangat menguasai”. Seberapa jauh tingkat penguasaan dianggap memadai, tergantung kepada standar atau patokan yang ditetapkan.
Penilaian berdasarkan acuan patokan dapat digunakan apabila dasar pemikiran yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan adalah asumsi pedagogik. Asumsi ini didasari atas pertimbangan bahwa keragaman kemampuan peserta didik hendaknya dapat dikurangi, hal ini berarti seseorang pendidik harus dapat memacu peserta didik yang berprestasi dan membantu yang lemah. Peserta didik memiliki motivasi yang kuat untuk belajar. Pendidik dalam mengembangkan proses pembelajaran menyajikan materi dan metode yang sesuai dengan kemampuan peserta didik. Apabila ketiga asumsi ini dapat berjalan semua, maka proses pendidikan akan berjalan dengan baik, namun apabila salah satu asumsi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang diharapkan. Oleh karena itu jika semua asumsi dapat dilaksanakan seharusnya dalam proses pendidikan sebagaian besar peserta didik harus memperoleh nilai A dan B, dan hanya sebagian kecil aja yang kurang atau gagal, dapat digambarkan dalam kurva juling negatif, tetapi jika proses pengajaran gagal akan membentuk juling positif sebagaimana dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.



 
Apabila terjadi kegagalan dalam proses pendidikan tersebut, tentu bersumber dari salah satu tiga asumsi tersebut, pendidik kurang dalam memberikan dorongan belajar, dan ada kemungkinan materi belajar tidak dapat terjangkau oleh pemikiran peserta didik. Selain asumsi tersebut diatas pertimbangan lain adalah bahwa jenis kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang bersifat statis, artinya materi pokok bahasan relatif bersifat tetap tidak mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan. Dengan demikian kriteria “benar” dan “salah” menjadi tegas. Misalnya mata pelajaran Matematika, Fisika, Bahasa tingkat dasar, dan sebagainya.
            Tujuan pengajaran secara khusus untuk menguasai sejumlah teori atau keterampilan tertentu. Dan metode mengajar yang digunakan adalah mastery learning, atau mrtode belajar tuntas, pendidik menekankan pada penguasaan materi daripada kemampuan kreatif peserta didik.
Patokan yang dipakai sebagai pembanding hasil belajar dapat berupa “ketercapaian tujuan pengajaran” atau “persentase dari penguasaan materi pelajaran”, yang dapat dinyatakan dengan jelas. Untuk itu tes yang disusun hendaknya dapat menggambaarkan keseluruhan bahan pengajaran, sebagaimana dijelaskan dalam perencanaan avaluasi. Apabila mengambil sampel yang tidak memadai, gambaran persentase tersebut akan menjadi salah yang dapat berakibat over-estimate atau under-estimate. Artinya bisa jadi persentase tersebut sebenarnya lebih rendah atau lebih tinggi dari gambaran kemampuan penguasaan bahan sebenarnya.

            Sebagai gambaran dalam menetapkan besar kecilnya persentase untuk penetapan nilai dalam Penilaian Acuan Kelompok (PAK) ini adalah sebagai berikut:
TARAF PENGUASAAN BAHAN
Taraf Penguasaan
Kualifikasi
Nilai Huruf
Angka Kualitas
91 – 100%
81 – 90%
71 – 80 %
61 – 70%
Kurang 60%
Memuaskan
Baik
Cukup
Kurang
Gagal
A
B
C
D
E
4
3
2
1
0

Tinggi rendahnya persentase yang dituntut oleh pendidik untuk dikuasai oleh peserta didik tergantung penting tidaknya bahan tersebut untuk dikuasai peserta didik, bila semakin penting persentasenya semakin tinggi. Sebaliknya bila bahan kurang penting, persentasenya makin rendah. Penting tidaknya bahan pengajaran harus dikuasai oleh peserta didik, dapat dilihat seberapa jauh kontribusi matakuliah itu untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih luas.


Penilaian Acuan “Nilai”
Acuan “nilai” yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi pendidikan yang menggunakan dasar filosofik agama, yakni pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki fitrah baik, tidak ada unsur dosa waris, atau manusia itu memiliki potensi bawaan yang bersifat jelek. Apabila perkembangan selanjutnya manusia menjadi jahat, misalnya sebagai pencuri, pemabuk, rakus, dan sebagainya adalah sebagai akibat dari kesalahan pendidik. Pengembangan potensi fitrah tersebut memerlukan kesempatan dan peluang lewat pendidikan, oleh karena itu asalkan dalam proses pendidikan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip paedagogis yang benar, maka peluang kegagalannya semakin kecil.
Dalam asumsi ketiga, bahwa nilai baik dan buruk dalam agama itu bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang berkaitan dengan antara ilmu, iman, amal. Agama memberikan tuntunan bahwa setiap amal perbuatan manusia selalu disertai dengan ilmu dan dilandasi dengan iman, demikian pula dengan iman yang benar dalam agama adalah iman yang dibimbing oleh ilmu dan mampu membuahkan amal, dan ilmu yang baik adalah ilmu yang didasarkan atas iman serta ilmu yang mampu membuahkan amal.
Hubungan antara iman, ilmu, dan amal adalah dapat digambarkan dalam segitiga sama sisi yang saling memiliki interdependensi.
 
Oleh karena itu evaluasi terhadap kurikulum yang didasarkan atas “nilai” agama atau humaniora, seperti Pancasila, Moral, dan sebagainya, dapat didasarkan atas asumsi ini. Penilaian tidak hanya ditekankan pada aspek kognitif, melainkan juga aspek afektif dan psikomotorik.
Standar keberhasilann dalam penilaian berdasarkan acuan “nilai” didasarkan atas patokan sistem nilai. Nilai ada yang memiliki kebenaran universal, ada pula yang hanyabersifat lokal dan temporal. Ada nilai yang memiliki kebenaran mutlak ada pula yang relatif. Nilai agama sebagian besar bersifat mutlak dan universal, terutama pada nilai-nilai yang bersifat esensial, tetapi nilai-nilai yang bersifat instrumental dapat bersifat lokal, temporal, dan relatif. Sebagai contoh: niali berpakian, pada musim dingin di daerah yang memiliki suhu dibawah 0 derajat, pakian dapat dari mantel bulu, ketat, warna hitam. Tetapi pada musim panas, pakian tidak perlu terlalu tebal asalkan menutup aurat.
Yang menjadi kesulitan dalam melakukan penilaian berdasarkan nilai ini adalah mengembangkan alat ukur yang memiliki validitas dan reliabilitas yang dapat diandalkan, di samping itu juga menentukan skoringnya