1.1
Struktur Fisik
a.
Tipografi
Memunyai tipografi semi konsisten. Bentuk wajah yang ditampilkan pada puisi tersebut
lumayan menarik. Walaupun penulisannya rata kiri dan bagian kanan terlihat
tidak teratur, namun terkesan singkat dan indah karena tiap baris puisi hanya
disusun oleh beberapa kata saja. Jadi, baris-baris dalam puisi itu tidak
panjang-panjang, melainkan pendek. Selain jumlah kata yang menyusun baris,
wajah puisi juga dibentuk oleh penyusunan puisi yang dibuat berbait-bait, tidak
hanya utuh dalam satu bait saja. Puisi itu juga dibuat dengan kombinasi huruf
kecil dan huruf kapital. Ada beberapa baris yang penulisannya menggunakan awalan huruf
kapital, namun ada juga yang diawali dengan
huruf kecil. Hal itu mungkin berpengaruh pada pemenggalan pada puisi.
b.
Diksi
Pada puisi “Doa,” penyair tampak penyair mengalami krisis iman sehingga
diksi yang digunakan penyair adalah kata-kata yang bernada ragu, lemah,
bimbang, dan rapuh. Puisi yang berjudul doa karya Chairil Anwar di atas, merupakan jenis
puisi prismatic. Hal itu terlihat dari sesunan katanya yang tidak langsung
memancarkan makna. Jadi, untuk mendapatkan makna yang kita cari, maka pembaca
harus mengira-ira maksud dari tiap kata atau baris.
Pada puisi itu, pengarang menggunakan diksi yang sederhana, namun dari
diksi ynag sederhana itu timbul rangkaian bahasa kias. Mengenai diksi,
pengarang menggunakan kata yang berlainnan untuk menyebutkan makna yang sama.
Misal, pada puisi di atas dituliskan kata ‘penuh menyeluruh’ dua kata itu hampir sama maknanya, namun oleh
pengarang digunakan secara bersamaan. Kata itu sesungguhnya bukan makna yang
sebenarnya. Oleh pengarang, kata ‘penuh menyeluruh’ itu merupakan gambaran tuhan yang benar-benar ada . Selain itu, pada
puisi itu juga terdapat kata atau diksi ‘hilang bentuk’ hal ini bermakna kehancuran. Jika pengarang
langsung saja menggunakan kata hancur, walaupun maknanya sama, namun keutuhan
makna dalam baris tidak akan terbentuk sempurna.
c.
Imaji
Pencitraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk
menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gamabaran mental, dan dapat
membangkitkan pengalaman tertentu bagi para pembacanya. Cuddon (dalam Ali
Imron, 2009: 158) menjelaskan bahwa citraan kata meliputi penggunaan bahasa
untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan,
dan pengalaman indera yang istimewa.
Di tangan sastrawan yang pandai, demikian Coombes (dalam Ali Imron, 2009: 158), imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya, sebuah imaji yang berhasil membentuk pengalaman menulis terhadapa objek atau situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis, dan segera dapat dirasakan.
Di tangan sastrawan yang pandai, demikian Coombes (dalam Ali Imron, 2009: 158), imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya, sebuah imaji yang berhasil membentuk pengalaman menulis terhadapa objek atau situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis, dan segera dapat dirasakan.
Penyair mengajak pembaca untuk membayangkan dirinya sendiri yang
mengalami krisis iman, kemudian meyakini bahwa tidak ada jalan lain baginya
kecuali kembali ke jalan Tuhan. Terdapat imaji cita rasa yang membuat pembaca
seakan ikut mengelus dada, dan menyadari dosa-dosanya. Kemudian pembaca merasa
yakin bahwa hanya dengan mengikuti jalan Tuhanlah akan selamat.
Imaji penglihatan terdapat pada kata “tinggal kerdip lilin di kelam
sunyi” dengan pengkajian tersebut penyair mengajak pembaca melihat seberkas
cahaya kecil walau hanya sebuah perumpamaan. Pembaca diajak seolah-plah
mendengar ucapan tokoh aku dalam menyebut nama Tuhan “aku masih menyebut namaMu”. Penyair menyampaikan kepada pembaca nikmatnya
sinar suci Tuhan sehingga pembaca seolah merasakannya “cahaya-mu panas suci.”
Dalam puisi “Doa” penyair memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji
pembaca melalui ungkapan yang tidak langsung. Pada bait 1 penyair memanfaatkan
citraan visual dengan memanfaatkan bahasa kias berupa majas metafora untuk
melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhan, sehingga timbul keakraban,
kekhusukan ketika merenung menyebut nama Tuhannya.
Bait 2 penyair mengguanakan citraan visual dengan majas hiperbola untuk
melukiskan sesuatu secara berlebihan. Hiperbola dimanfaatkan untuk menyangatkan
arti guna menciptakan efek makna khusus. Yaitu melukiskan kedekatana antara
penyair dengan Tuhannya. Yang dilikiskan pada baris ketiga, disini penyair
melebih-lebihkan kedekatanya, ketulusan, dan kepasrahannya kepada Tuhan
/Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi/. Disini kedekatan antara penyair dan
Tuhan, didalam sebuah kesunyian ketika merenung berdoa, hanya cahaya lilin yang
redup dalam kesunyian malam.
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Bait 3 menggunkan citraan vusual memanfaatkan majas hiperbola pada
baris kedua /Aku hilang bentuk remuk/ yaitu melukiskan sesuatu yang berlebihan
sehingga menimbulkan efek makna khusus. Disini dalam keheningan malam, berdoa
menyebut nama Tuhannya dengan sepenuh hati hingga badannya bagaikan hilang dan
remuk, rela badanya remuk tak tersisa demi Tuhannya.
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Bait 4 juga menggunakan pencitraan visual dengan memanfaatkan majas metafora yang melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhannya /Aku mengembara di negeri asing/ merupakan majas metafora, membandingkan sesuatau tanpa menggunakan perbandingan. Membandingkan keseriusannya dan kehusukannya dalam berdoa, dengan pengembaraannya ke negeri asing. Majas hiperbola juga dimanfaatkan dalam bait 4 untuk melukiskan sesuatu secara berlebihan. Dalam hal ini hiperbola menyatakan kedekatannya antara penyair dengan Tuhan, rela mengembara kesebuah negeri asing yang sangat jauh demi mendekatkan diri pada Tuhannya yang dilukiskan dengan /Aku mengembara di negeri asing/. Disisni keseriusan dalam berdoa dirbaratkan mengembara ke negeri asing. Dimanapun berada tetap ingat dan patuh dengan menyebut nama Tuhannya, karena kita hidup hanyalah sebagai sebuah pengembaraan.
Bait 4 juga menggunakan pencitraan visual dengan memanfaatkan majas metafora yang melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhannya /Aku mengembara di negeri asing/ merupakan majas metafora, membandingkan sesuatau tanpa menggunakan perbandingan. Membandingkan keseriusannya dan kehusukannya dalam berdoa, dengan pengembaraannya ke negeri asing. Majas hiperbola juga dimanfaatkan dalam bait 4 untuk melukiskan sesuatu secara berlebihan. Dalam hal ini hiperbola menyatakan kedekatannya antara penyair dengan Tuhan, rela mengembara kesebuah negeri asing yang sangat jauh demi mendekatkan diri pada Tuhannya yang dilukiskan dengan /Aku mengembara di negeri asing/. Disisni keseriusan dalam berdoa dirbaratkan mengembara ke negeri asing. Dimanapun berada tetap ingat dan patuh dengan menyebut nama Tuhannya, karena kita hidup hanyalah sebagai sebuah pengembaraan.
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Pemanfaatan pencitraan dalam puisi tersebut mampu menghidupkan imaji
pembaca dalam merasakan apa yang diasakan oleh penyair, dengan menghayati
pengalaman religi penyair.
d.
Kata Konkrit
Penyair memilih kata termangu untuk mengkonkritkan bahwa penyair
mengalami krisis iman yang membuanya sering ragu terhadap Tuhan.
Memilih kata “tinggal kerdip lilin dikelam sunyi” untuk memperkonkrit
bahwa penyair mengalami krisis iman.
Memilih kata “aku hilang bentuk/remuk” untuk memperkonkrit gambaran
bahwa penyair telah dilumuri dosa-dosa
Memilih kata “dipintumu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling” untuk
memperkonkret bahwa tekad penyair yang
bulat untuk kembali ke jalan Tuhan”
e.
Gaya Bahasa
Majas yang digunakan dalam puisi Doa adalah majas metafora, hiperbola,
dan personifikasi.
1.2
Analisis Struktur Batin
a. Tema
Puisi
“Doa” karya Chairil Anwar di atas mengungkapkan tema tentang ketuhanan. Hal ini
dapat kita rasakan dari beberapa bukti. Pertama, diksi yang digunakan sangat
kentaldengan kata-kata bernaka ketuhanan. Kata ‘dua’ yang digunakan sebagai
judul menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan
Sang Pencipta.
Kata-kata
lain yang mendukung tema adalah: Tuhanku, nama-Mu, mengingat Kau, caya-Mu, di
pintu-Mu. Kedua, dari segi isi puisi tersebut menggambarkan sebuah
renungandirinya yang menyadari tidak bisa terlepas dari Tuhan.
Dari cara penyair
memaparkan isi hatinya, puisi ‘Doa’ sangat tepat bila digolongkan pada aliran
ekspresionisme, yaitu sebuah aliran yang menekankan segenap perasaan atau
jiwanya.
Perhatikan
kutipan larik berikut :
1.
Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh
2.
Aku hilang bentuk remuk
3.
Di Pintu-Mu aku mengetuk
4.
Aku tidak bisa berpaling
Puisi
yang bertemakan ketuhanan ini memang mengungkapkan dialog dirinya dengan Tuhan.
Kata ‘Tuhan’ yang disebutkan beberapa kali memperkuat bukti tersebut,
seolah-olah penyair sedang berbicara dengan Tuhan.
b. Nada dan Suasana
Nama
berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) atau sikap penyair
terhadap pembaca. Sedangkan suasana berarti keadaan perasaan pembaca sebagai
akibat pembacaan puisi. Nada yang berhubungan dengan tema ketuhanan
menggambarkan betapa dekatnya hubungan penyair dengan Tuhannya. Berhubungan dengan
pembaca, maka puisi ‘Doa’ tersebut bernada sebuah ajakan agar pembaca menyadari
bahwa hidup ini tidak bisa berpaling dari ketentuan Tuhan. Karena itu, dekatkanlah
diri kita dengan Tuhan. Hayatilah makna hidup ini sebagai sebuah pengembaraan
di negeri ‘asing’.
c. Perasaan
Perasaan
berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ‘Doa’ gambaran perasaan
penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari
diksi yang digunakan antara lain: termenung, menyebut nama-Mu, aku hilang
bentuk, remuk, aku tak bisa berpaling.
d. Amanat
Sesuai
dengan tema yang diangkatnya, puisi ‘Doa’ ini berisi amanat kepada pembaca agar
menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa melakukan
amanat tersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang dicontohkan
penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ‘pengembaraan
di negeri asing’ yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair
pada bait terakhir sebagai berikut:
Tuhanku
di
pintu-Mu aku mengetuk
aku
tidak bisa berpaling