Minggu, 11 Januari 2015

Analisis Puisi “DOA” Karya Chairul Anwar



ANALISIS PUISI “DOA” KARYA CHAIRIL ANWAR






 1.        Analisis Struktural
1.1    Struktur Fisik 
a.      Tipografi
            Memunyai tipografi semi konsisten. Bentuk wajah yang ditampilkan pada puisi tersebut lumayan menarik. Walaupun penulisannya rata kiri dan bagian kanan terlihat tidak teratur, namun terkesan singkat dan indah karena tiap baris puisi hanya disusun oleh beberapa kata saja. Jadi, baris-baris dalam puisi itu tidak panjang-panjang, melainkan pendek. Selain jumlah kata yang menyusun baris, wajah puisi juga dibentuk oleh penyusunan puisi yang dibuat berbait-bait, tidak hanya utuh dalam satu bait saja. Puisi itu juga dibuat dengan kombinasi huruf kecil dan huruf kapital. Ada beberapa baris yang penulisannya menggunakan awalan huruf kapital, namun ada juga yang diawali dengan huruf kecil. Hal itu mungkin berpengaruh pada pemenggalan pada puisi.
b.      Diksi
            Pada puisi “Doa,” penyair tampak penyair mengalami krisis iman sehingga diksi yang digunakan penyair adalah kata-kata yang bernada ragu, lemah, bimbang, dan rapuh. Puisi yang berjudul doa karya Chairil Anwar di atas, merupakan jenis puisi prismatic. Hal itu terlihat dari sesunan katanya yang tidak langsung memancarkan makna. Jadi, untuk mendapatkan makna yang kita cari, maka pembaca harus mengira-ira maksud dari tiap kata atau baris.
            Pada puisi itu, pengarang menggunakan diksi yang sederhana, namun dari diksi ynag sederhana itu timbul rangkaian bahasa kias. Mengenai diksi, pengarang menggunakan kata yang berlainnan untuk menyebutkan makna yang sama. Misal, pada puisi di atas dituliskan kata penuh menyeluruh dua kata itu hampir sama maknanya, namun oleh pengarang digunakan secara bersamaan. Kata itu sesungguhnya bukan makna yang sebenarnya. Oleh pengarang, kata penuh menyeluruh itu merupakan gambaran tuhan yang benar-benar ada . Selain itu, pada puisi itu juga terdapat kata atau diksi hilang bentuk hal ini bermakna kehancuran. Jika pengarang langsung saja menggunakan kata hancur, walaupun maknanya sama, namun keutuhan makna dalam baris tidak akan terbentuk sempurna. 
c.       Imaji
            Pencitraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gamabaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu bagi para pembacanya. Cuddon (dalam Ali Imron, 2009: 158) menjelaskan bahwa citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan pengalaman indera yang istimewa.
Di tangan sastrawan yang pandai, demikian Coombes (dalam Ali Imron, 2009: 158), imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya, sebuah imaji yang berhasil membentuk pengalaman menulis terhadapa objek atau situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis, dan segera dapat dirasakan.
            Penyair mengajak pembaca untuk membayangkan dirinya sendiri yang mengalami krisis iman, kemudian meyakini bahwa tidak ada jalan lain baginya kecuali kembali ke jalan Tuhan. Terdapat imaji cita rasa yang membuat pembaca seakan ikut mengelus dada, dan menyadari dosa-dosanya. Kemudian pembaca merasa yakin bahwa hanya dengan mengikuti jalan Tuhanlah akan selamat.
            Imaji penglihatan terdapat pada kata “tinggal kerdip lilin di kelam sunyi” dengan pengkajian tersebut penyair mengajak pembaca melihat seberkas cahaya kecil walau hanya sebuah perumpamaan. Pembaca diajak seolah-plah mendengar ucapan tokoh aku dalam menyebut nama Tuhan  “aku masih menyebut namaMu”.  Penyair menyampaikan kepada pembaca nikmatnya sinar suci Tuhan sehingga pembaca seolah merasakannya “cahaya-mu panas suci.”
            Dalam puisi “Doa” penyair memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji pembaca melalui ungkapan yang tidak langsung. Pada bait 1 penyair memanfaatkan citraan visual dengan memanfaatkan bahasa kias berupa majas metafora untuk melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhan, sehingga timbul keakraban, kekhusukan ketika merenung menyebut nama Tuhannya.
            Bait 2 penyair mengguanakan citraan visual dengan majas hiperbola untuk melukiskan sesuatu secara berlebihan. Hiperbola dimanfaatkan untuk menyangatkan arti guna menciptakan efek makna khusus. Yaitu melukiskan kedekatana antara penyair dengan Tuhannya. Yang dilikiskan pada baris ketiga, disini penyair melebih-lebihkan kedekatanya, ketulusan, dan kepasrahannya kepada Tuhan /Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi/. Disini kedekatan antara penyair dan Tuhan, didalam sebuah kesunyian ketika merenung berdoa, hanya cahaya lilin yang redup dalam kesunyian malam.
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
            Bait 3 menggunkan citraan vusual memanfaatkan majas hiperbola pada baris kedua /Aku hilang bentuk remuk/ yaitu melukiskan sesuatu yang berlebihan sehingga menimbulkan efek makna khusus. Disini dalam keheningan malam, berdoa menyebut nama Tuhannya dengan sepenuh hati hingga badannya bagaikan hilang dan remuk, rela badanya remuk tak tersisa demi Tuhannya.
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
            Bait 4 juga menggunakan pencitraan visual dengan memanfaatkan majas metafora yang melukiskan kedekatan antara penyair dengan Tuhannya /Aku mengembara di negeri asing/ merupakan majas metafora, membandingkan sesuatau tanpa menggunakan perbandingan. Membandingkan keseriusannya dan kehusukannya dalam berdoa, dengan pengembaraannya ke negeri asing. Majas hiperbola juga dimanfaatkan dalam bait 4 untuk melukiskan sesuatu secara berlebihan. Dalam hal ini hiperbola menyatakan kedekatannya antara penyair dengan Tuhan, rela mengembara kesebuah negeri asing yang sangat jauh demi mendekatkan diri pada Tuhannya yang dilukiskan dengan /Aku mengembara di negeri asing/. Disisni keseriusan dalam berdoa dirbaratkan mengembara ke negeri asing. Dimanapun berada tetap ingat dan patuh dengan menyebut nama Tuhannya, karena kita hidup hanyalah sebagai sebuah pengembaraan.
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Pemanfaatan pencitraan dalam puisi tersebut mampu menghidupkan imaji pembaca dalam merasakan apa yang diasakan oleh penyair, dengan menghayati pengalaman religi penyair.
d.      Kata Konkrit
Penyair memilih kata termangu untuk mengkonkritkan bahwa penyair mengalami krisis iman yang membuanya sering ragu terhadap Tuhan.
Memilih kata “tinggal kerdip lilin dikelam sunyi” untuk memperkonkrit bahwa penyair mengalami krisis iman.
Memilih kata “aku hilang bentuk/remuk” untuk memperkonkrit gambaran bahwa penyair telah dilumuri dosa-dosa
Memilih kata “dipintumu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling” untuk memperkonkret bahwa tekad penyair yang  bulat untuk kembali ke jalan Tuhan”

e.       Gaya Bahasa
Majas yang digunakan dalam puisi Doa adalah majas metafora, hiperbola, dan personifikasi.
1.2    Analisis Struktur Batin
a.      Tema
     Puisi “Doa” karya Chairil Anwar di atas mengungkapkan tema tentang ketuhanan. Hal ini dapat kita rasakan dari beberapa bukti. Pertama, diksi yang digunakan sangat kentaldengan kata-kata bernaka ketuhanan. Kata ‘dua’ yang digunakan sebagai judul menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan Sang Pencipta.
     Kata-kata lain yang mendukung tema adalah: Tuhanku, nama-Mu, mengingat Kau, caya-Mu, di pintu-Mu. Kedua, dari segi isi puisi tersebut menggambarkan sebuah renungandirinya yang menyadari tidak bisa terlepas dari Tuhan.
     Dari cara penyair memaparkan isi hatinya, puisi ‘Doa’ sangat tepat bila digolongkan pada aliran ekspresionisme, yaitu sebuah aliran yang menekankan segenap perasaan atau jiwanya.
            Perhatikan kutipan larik berikut :
1.         Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh
2.         Aku hilang bentuk remuk
3.         Di Pintu-Mu aku mengetuk
4.         Aku tidak bisa berpaling
Puisi yang bertemakan ketuhanan ini memang mengungkapkan dialog dirinya dengan Tuhan. Kata ‘Tuhan’ yang disebutkan beberapa kali memperkuat bukti tersebut, seolah-olah penyair sedang berbicara dengan Tuhan.
b.      Nada dan Suasana
Nama berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) atau sikap penyair terhadap pembaca. Sedangkan suasana berarti keadaan perasaan pembaca sebagai akibat pembacaan puisi. Nada yang berhubungan dengan tema ketuhanan menggambarkan betapa dekatnya hubungan penyair dengan Tuhannya. Berhubungan dengan pembaca, maka puisi ‘Doa’ tersebut bernada sebuah ajakan agar pembaca menyadari bahwa hidup ini tidak bisa berpaling dari ketentuan Tuhan. Karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan. Hayatilah makna hidup ini sebagai sebuah pengembaraan di negeri ‘asing’.
c.      Perasaan
Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ‘Doa’ gambaran perasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari diksi yang digunakan antara lain: termenung, menyebut nama-Mu, aku hilang bentuk, remuk, aku tak bisa berpaling.
d.      Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ‘Doa’ ini berisi amanat kepada pembaca agar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ‘pengembaraan di negeri asing’ yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair pada bait terakhir sebagai berikut:
            Tuhanku
            di pintu-Mu aku mengetuk
            aku tidak bisa berpaling