Jumat, 23 Agustus 2013

DESA KALA PATRA

 DESA KALA PATRA
Dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali segala sesuatu yang dilakasanakan hendaknya disesuaikan dengan Desa Kala Patra. Desa Kala Patra adalah kelenturan interpretasi masyarakat pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang disesuaikan dengan situasi/keadaan tertentu. sebaagai contoh yang saya kutip di website Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) adalah Orang yang tepat diberikan dana punia disebut Patra. Dalam Sarasamuscaya 271 dinyatakan “Paatra ngarania sang yogia wehana daana” yang artinya Paatra namanya orang yang sepatutnya diberikan daana punia. Dalam Sarasamuscya sloka 181 juga sudah dinyatakan dengan istilah supaatra yang juga artinya orang yang baik dan seyogianya diberikan daana punia. Dalam kamus Sansekerta kata Paatra itu banyak artinya. Tetapi dalam kaitannya dengan Desa Kala Paatra dalam Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya sudah sangat jelas artinya yaitu orang yang seyogianya diberikan daana punia. Sedangkan untuk mensukseskan pengamalan agama atau dharma sudah sangat jelas juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Ada lima dasar pertimbangan agar pengamalan agama atau dharma sukses. Dalam sloka Manawa Dharmasastra VII.10 disebut Dharmasidhiartha artinya suksesnya tujuan dharma atau agama. Ada lima dasar pertimbangan yang dinyatakan dalam sloka tersebut yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan masyarakat, Sakti kemampuan masyarakat, Desa aturan rohani yang berlaku setempat, Kala artinya waktu. Tattwa artinya kebenaran Weda. Maksudnya Tattwa itulah diterapkan sesuai dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Inilah yang lebih tepat dimaknai sebagai dasar adaptasi diri dalam multi kultur. Hal ini menyebabkan bentuk luar tradisi beragama Hindu berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainya. Tattwa itu yang mutlak, penerapannya yang dapat disesuikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Bagaikan makan nasi boleh pakai piring, pakai daun, kertas minyak maupun pakai rantang. Yang penting isinya sama yaitu nasi. Demikianlah Tattwa intisari Weda boleh dikemas dengan tradisi India, tradisi Kalimantan, tradisi Jawa, tradisi Bali dan sebagainya. Yang penting isi Tattwa inti Weda. Karena itu istilah Desa Kala Paatra itu dikembalikan hanya sebagai dasar melakukan Satvika Daana. Kalau adaptasi diri dalam multi kultur itu tanpa dasar Tattwa tentunya berbahaya. Tattwa itu adalah sumber jati diri. Kalau Patra diartikan keadaan, Desa tempat dan Kala waktu dijadikan dasar melakukan adaptasi diri dalam multikultur bisa kebudayaan kita terombang-ambing terus mengikuti keadaan zaman tempat dan waktu yang terus berubah. Idealnya kitalah seyogianya merencanakan perubahan itu agar jati diri (Tattwa) tetap berlanjut sepanjang zaman. Dalam mengamalkan kebenaran atau Tattwa bentuknyalah yang disesuaikan dengan Iksa, Sakti, Desa dan Kala. Tattwa itu adalah kebenaran yang paling hakiki yang harus tetap ajeg tidak boleh berubah sepanjang zaman dan dimana pun. Seperti makanan unsur intinya harus tetap ada seperti karbohidrat, lemak, vitamin, protein, asam amino dll. Bentuk dan cara penyajianya boleh berubah-ubah, tetapi substansi makanan itu tetap kekal. Bentuk itu tidak boleh merubah fungsi. Seperti zat pewarna dalam makanan, jangan mengubah makanan itu menjadi racun. Manusia dari suku dan bangsa mana pun dia membutuhkan unsur-unsur itu seperti karbohidrat, protein, vitamin, asam amino. Demikian juga dalam hal kebudayaan Bali jangan menggunakan dasar Desa Kala Patra dalam arti tempat, waktu dan keadaan sebagai dasar membangun adaptasi diri dalam multikultur. Sebaiknya kembali pada pengertian yang benar menurut ketentuan kitab suci.
Kalau dipakai dasar pertimbangan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharma Sastra VII.10 adaptasi budaya dalam multikultur itu kita dapat mengikuti perubahan dengan tetap menguatkan jati diri kita tidak kehilangan Tattwa. Pada kenyataannya aspek Tattwa inilah yang sering ditinggalkan secara tidak sengaja oleh sementara pihak karena kurang cerdasnya kita menghadapi perubahan yang sudah pasti itu. Berbagai bentuk budaya spiritual Hindu di Bali dalam penampilannya ada sementara yang dieksistensikan jauh meninggalkan Tattwanya. Padahal dalam teks Lontar petunjuknya sudah amat jelas tersurat jelas apa yang semestinya dilakukan. Karena itu perlu ditumbuhkembangkan budaya baca di kalangan umat pendukung kebudayaan Hindu di Bali.

sekian dan terima kasih, kiat sebagai umat hindu semoga dapat merealisakannya dalam kehidupan sehari-hari.

0 komentar:

Posting Komentar