“MAKNA
FILOSOFIS HARI RAYA NYEPI DAN KONTEMPLASI DI MASA KEKINIAN”
Om
Swastyastu
Om
anobadrah kartawo yantu wiswatah
Semoga
pikiran baik datang dari segala penjuru
Yang
terhormat Bapak Kepala SMKN 3 Singaraja, yang saya hormati pula Bapak dan Ibu
guru dan siswa-siswi SMKN 3 Singaraja yang saya cintai beserta
teman-teman mahasiswa yang PPL baik Undiksha maupun STKIP.
Puja
dan puji syukur saya haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas
asung kerta wara nugraha beliau kita bisa berkumpul bersama di Padma Sari
parahyangan SMKN 3 Singaraja dalam persembahyangan Tilem Sasih Kasanga yang
juga dirangkaikan dengan kegiatan pecaruan yang jatuh pada hari ini, Jumat, 4
Maret 2011 dalam keadaan sehat tanpa kekurangan suatu apapun. Pada kesempatan
yang suci ini saya selaku perwakilan mahasiswa PPL dari STKIP Agama Hindu
Singaraja, diberikan kesempatan oleh guru pamong Agama Hindu SMKN 3 Singaraja
untuk memberikan sedikit tentang “Hari Raya Nyepi dan Kontemplasi di Masa
Kekinian”.
Bapak/Ibu
guru dan Adik-adik siswa-siswi yang saya banggakan,
Banyak
kalangan lain melihat keunikan tersendiri bagi umat Hindu Nusantara, khususnya
di Bali yang merayakan tahun barunya, karena kalau umat lain mereka merayakan
tahun barunya dengan kemeriahan, pesta makan-minum, pakaian baru, dan
sebagainya. Namun umat Hindu, justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada
“Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistem kalender Hindu Nusantara,
yaitu di saat “Uttarayana” (hari pertama matahari dari katulistiwa menuju ke
garis peredaran di lintang utara), merayakannya dengan sepi yang kemudian
bernama “Nyepi” artinya membuat suasana hening
Hari
raya Nyepi oleh umat Hindu di Bali dirayakan sebagai hari pergantian tahun baru
Caka. Hari raya ini menurut penanggalan Hindu jatuh pada tanggal satu
(penanggal pisan) sasih X (kedasa) atau tepatnya sehari sesudah tilem ke IX
(kesanga) yang akan kita rayakan bersama besok pada hari Sabtu, tanggal 5 Maret
2011 adalah tahun baru caka 1933 merupakan momen yang sangat tepat untuk melakukan
penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makro dan mikrokosmos) sehingga dapat
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa),
terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), siwam (kesucian),
dan sundaram (keharmonisan/ keindahan).
Sebelum
hari raya Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Melasti, Mekiis atau Melis.
Ini biasanya dilakukan Panglong ke 13 atau 3 hari sebelum Nyepi. Tujuan dari
upacara ini adalah memohon kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa/manisfestasi beliau
yang besthana di laut sebagai sumber air untuk menyucikan alam beserta isinya.
Semua Prelingga atau simbol Tuhan yang dalam bentuk patung diarak ke laut untuk
disucikan.
Sehari
sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan upacara Pecaruan atau Pengerupukan.
Upacara ini juga bisa disebut dengan Tawur Kesanga karena upacara ini dilakukan
pada Tilem Kesanga atau pada bulan mati bulan ke sembilan pada perhitungan
kalender Bali/Sasih Bali. Upacara ini dilakukan di setiap rumah, Banjar, Desa,
Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Upacara ini dilakukan di depan pekarangan,
perempatan jalan, alun-alun maupun lapangan. Tujuan upacara ini adalah mengusir
atau menghilangkan pengaruh buruk Butha Kala atau roh-roh yang ada dibawah alam
manusia. Jadi dapat juga dikatakan upacara Pecaruan atau Pengerupukan bertujuan
mengharmoniskan kembali alam semesta beserta isinya sehingga bernuansa baru
lagi.
Tepat
pada hari raya Nyepi dirayakan oleh umat dengan cara melakukan Catur Bratha
Penyepian. Catur bratha penyepian terdiri dari empat macam pantangan yaitu:
amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan
(tidak bekerja) dan amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua
pantangan ini dilakukan untuk mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat
sehingga dicapai suatu ketenangan atau kedamaian batin. Dengan ini pikiran
manusia bisa terintropeksi atas segala perbuatannya pada masa lalu dan pada
saat yang sama memupuk perbuatan yang baik untuk tahun berikutnya. Semua ini
dilakukan selama satu hari penuh pada hari raya nyepi.
Sehari
setelah hari raya nyepi, semua aktivitas kembali berjalan seperti biasa. Hari
ini dimulai dengan persembahyangan dan pemanjatan doa kepada Hyang Widhi untuk
kebaikan pada tahun yang baru. Pada hari ngembak geni ini hendaknya umat saling
bersilatuahmi dan memaafkan satu sama lain. Hari raya nyepi pada hakekatnya
adalah hari pengekangan hawa nafsu dan intropeksi diri atas segala perbuatan
yang dilakukan pada masa lalu. Pelaksanaan hari raya nyepi ini harus didasari dengan
niat yang kuat, tulus dan ikhlas tanpa ada ambisi tertentu. Pengekangan hawa
nafsu untuk mencapai kebebasan batin memang suatu ikatan tetapi ikatan itu
dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Bapak/Ibu
guru dan Siswa-Siswi yang saya cintai
Kita
ketahui bersama bahwa kelemahan tradisi beragama umat Hindu khususnya yang
tinggal di Bali, adalah terlalu banyak berkutat pada segi-segi ritual (upacara)
sehingga segi-segi tattwa dan susila kurang diperhatikan. Tidak sedikit dari
kita merasa sudah beragama hanya dengan melaksanakan upacara-upacara Panca
Yadnya saja. Salah satu segi tattwa yang kurang diperhatikan misalnya
mewujudkan Tri Hita Karana. Perkataan ini sering menjadi slogan yang populer,
diucapkan oleh berbagai tokoh dengan gempita tanpa menghayati makna dan
aplikasinya yang riil di kehidupan sehari-hari.
Tri
Hita Karana, tiga hal yang mewujudkan kebaikan, yaitu:
- Keharmonisan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan)
- Keharmonisan hubungan manusia sesama manusia (Pawongan)
- Keharmonisan hubungan manusia dengan alam (Palemahan)
Tri
Hita Karana bertitik sentral pada manusia, dengan kata lain Tri Hita Karana
bisa terwujud jika manusia mempunyai tekad yang kuat melaksanakannya. Tekad
yang kuat harus disertai dengan pengertian yang mendalam dan kebersamaan sesama
umat manusia. Tri Hita Karana tidak bisa diwujudkan hanya oleh seorang diri
atau sekelompok orang saja. Itu harus dilakukan bersama-sama oleh semua
manusia, bahkan manusia beragama apapun. Manusia yang pendakian spiritualnya
cukup akan mencintai Tuhan (Hyang Widhi). Cinta kepada sesuatu yang lebih
tinggi dan lebih luas disebut “bhakti”. Ruang lingkup ini misalnya: bhakti
kepada Tuhan, negara, bangsa, rakyat, dll.
Tinjauan
khusus tentang bhakti kepada Hyang Widhi, wujudnya adalah kasih sayang kepada semua
ciptaan-Nya, yaitu mahluk hidup: manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan;
demikian pula kepada ciptaan-Nya yang lain misalnya alam semesta. Seseorang
yang mengaku sebagai “bhakta” (orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia
menunjukkan bhaktinya itu kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai ritual
saja. Ia juga harus mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada semua mahluk,
khususnya kepada sesama manusia.
Rasa
kasih sayang kepada sesama manusia hendaknya benar-benar datang dari hati
nurani yang bersih dan tulus tanpa keinginan mendapat balas jasa atau imbalan
dalam bentuk apapun. Filsafat Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah
ini. Masyarakat yang individu-individunya telah mampu melaksanakan ajaran Agama
dengan baik akan mewujudkan keadaan yang disebut sebagai satyam, siwam,
sundaram, yakni masyarakat yang saling menyayangi sesamanya, kebersamaan yang
harmonis dan dinamis, berkeimanan yang kuat dan sejahtera lahir-batin. Manusia
dalam upayanya mencapai kehidupan satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat
berdiri sendiri-sendiri. Ia memerlukan berbagai hubungan yang harmonis dengan
manusia lain, atau jelasnya, manusia membutuhkan kelompok tertentu yang
sehaluan dalam pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan ekonomi,
kepentingan sosial, dan kepentingan budaya.
Jika
kita perhatikan tujuan filosofis hari raya Nyepi, tetap mengandung arti dan
makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang.
Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan
tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga)
mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan
spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.
Tawur
Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri
manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata “tawur” berarti
mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil
sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap
dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan
perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan
memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang.
Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah
tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka. Dan yang
lebih penting adalah secara ekologis kita telah melakukan program hemat energi
meskipun dalam kurun waktu 2 x 24 jam tapi cukup efisien dan dapat mengurangi
emisi gas CO2 karena kendaraan bermotor sehingga udara bersih dan
ini patut ditiru oleh dunia dalam pencanangan untuk mencegah global warming.
Jadi
dengan pelaksanaan hari raya Nyepi ada sebuah ungkapan menarik: “Silence is
Brahman” (Keheningan adalah Tuhan). Ungkapan dalam bahasa Inggris tadi
tampaknya memang tidak populer bagi umat Hindu di sini. Namun umat Hindu
sesungguhnya sudah lama mengenal hakikat ungkapan tadi dengan bahasa lain.
Misalnya dengan ungkapan Sanghyang Sunya (baca: Sunia). Kata “sunya” artinya
sepi. Sedangkan “Sanghyang Sunya”, bagi umat Hindu di Bali, adalah nama lain
dari Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Bapak-Ibu
serta adik-adik siswa siswi SMKN 3 Singaraja mungkin hanya itulah Dharma wacana
yang bisa saya berikan pada kesempatan ini kurang lebihnya saya minta maaf atas
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan di hati Bapak/Ibu dan adik siswa-siswi
SMKN 3 singaraja, semoga ada manfaatnya untuk kita semua. Akhir kata tidak lupa
saya ucapkan kepada seluruh sivitas SMKN 3 Singaraja selamat merayakan hari
raya Nyepi Tahun Baru Caka 1933, semoga Ida Sang Hyang Widhi menuntun kita
menuju Dharma yang sejati dan saya tutup dengan Parama Santi.
Om
Santhi Santhi Santhi Om.
0 komentar:
Posting Komentar