PERAN GURU MASA DEPAN
Peran guru tidak bisa lepas dari
karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan
dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan
yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang
tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata
tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada
bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada
kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan
diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar
profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan
guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting
karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard
profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan
dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat
kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial,
dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut.
Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai
perubahan.
Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.
Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.
Teknologi Informasi
Salah satu permasalahan yang perlu
mendapat perhatian dalam Konkernas PGRI adalah bagaimana guru masa depan
kita terkait dengan makin majunya teknologi informasi yang sudah
diaplikasi di sekolah.
Kalau kita bertandang ke kota-kota besar
seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan, akan kita temukan
tidak sedikit guru kita yang pandai mengaplikasi teknologi informasi
untuk pembelajaran. Mereka tidak kalah berkualitas apabila dibandingkan
dengan guru-guru di sekolah terbaik di negara maju seperti Thomas
Jefferson High School (TJHS) yang tahun 2009 dinobatkan sebagai SMA
terbaik di Amerika Serikat (AS).
Banyak sekolah kita yang mulai menerapkan
metode learning based internet (LBS) dalam pembelajarannya. Dalam
metode ini referensi yang digunakan adalah referensi internet dan materi
pelajarannya pun banyak yang di-download dari internet. Lebih daripada
itu, pengembangan kurikulum dan silabusnya pun didasarkan pada
perkembangan internet itu sendiri. Dalam keadaan seperti ini, sudah
tentu guru dituntut menguasai internet kalau tidak ingin diolok-olok
oleh siswanya. Ternyata guru kita pun dengan cakap dan terampil mampu
menguasainya.
Siapa bilang guru Indonesia kalah cerdas
dan kalah terampil dibanding guru AS, khususnya guru-guru TJHS sebagai
sekolah terbaik dan bernilai tertinggi di AS.
Memang benar guru kita banyak yang
sekualitas guru AS, namun sayangnya, jumlah guru yang seperti itu
relatif sangat terbatas. Kalau kita bertandang ke daerah pedesaan atau
daerah pelosok lainnya, banyak guru yang belum akrab dan merasa asing
dengan internet. Jangankan menguasai internet, guru yang rumahnya belum
terjangkau aliran listrik pun tidak kecil jumlahnya. Bagaimana mungkin
mereka akrab dengan internet kalau listrik saja belum diakrabinya.
Sesekali pergilah ke Papua, Papua Barat,
Maluku Utara, dan NTT. Kita tidak perlu heran kalau untuk berjalan ke
sekolah dari ibu kota kabupaten, diperlukan waktu 2 hari 2 malam. Lalu
bertandanglah ke Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan,
dan NTB. Kita tidak perlu heran kalau untuk bersampan ke sekolah dari
ibu kota kabupaten, diperlukan waktu berjam-jam. Bagaimana mungkin guru
di sekolah tersebut akrab dengan internet kalau sekolahnya terisolasi?
Apabila kita kuantifikasi, jumlah guru
kita yang menguasai internet barangkali jauh lebih sedikit dibanding
para guru yang belum familiar dengan internet; termasuk yang belum
pernah menyentuh komputer.
Guru Masa Depan
Tidak bisa tidak, guru Indonesia masa
depan adalah guru yang dapat menguasai internet. Relevan dengan Moore’s
Law yang diciptakan oleh Gordon E Moore bahwa ke depan setiap orang
hendaknya akrab dengan “peralatan mikro” (baca: internet) supaya mampu
mengikuti perkembangan informasi.
Guru Indonesia masa depan harus mampu
menguasai internet serta siap mengaplikasikannya baik dalam pembelajaran
maupun kehidupan sehari-hari. Nantinya pasti akan terasa lucu kalau ada
guru yang tidak mengenal komputer dan internet. Kalau guru kita tidak
mengenal internet, nanti akan makin tertinggal oleh guru-guru di negara
maju. Bahkan, dengan guru-guru Malaysia yang dulu pernah berguru di
Indonesia pun, guru-guru kita akan makin tertinggal.
Penguasaan internet para guru secara
langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap peningkatan
kualitas pendidikan nasional. Dengan menguasai internet, maka
pengetahuan, ilmu, dan teknologi yang ditransfer kepada siswa akan lebih
menarik, lebih cepat, dan lebih aktual.
Memang harus disadari bahwa internet
bukanlah segala-galanya. Guru Indonesia masa depan memang harus
menguasai internet, tetapi di sisi yang lain harus tetap memahami
kultur, sikap, dan nilai keindonesiaan. Hal ini pun merupakan hal yang
tidak bisa ditawar pula. Jadi, guru Indonesia masa depan adalah guru
yang tetap memahami kultur, sikap, dan nilai keindonesiaan di satu sisi
dan menguasai teknologi informasi di sisi lain.
sumber:
Ki Supriyoko n DR. ZAMRONI