Setelah melaksanakan
persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini
dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka
(meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan
suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan
kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri
Mawija atau mabija
dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu
upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan
air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica
VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya
diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah
lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang
dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri
setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu
dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya
bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia
terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivi-sampat dan
Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan
sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat
itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan
berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari
hati manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada
pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di
tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Namun dalam kitab Weda
Parikrama yang menyebutkan bahwa peletakan bija yang benear adalah :
Ubun-ubun: Om Ing Isana ya namah
Sela-sela alis: Om Tang Tat Purusha ya
namah
Pangkal tenggorokan: Om Ang Agora ya
namah
Bahu kanan: Om Bang Bamadewa ya namah
Bahu kiri: Om Sang Sadiyojata ya namah
Belakang leher (tengkuk): Om Hang Hrdaya
ya namah
Belakang telinga kanan: Om Hring Kaya
Sirase ya namah
Belakang telinga kiri: Om Rah Phat Astra
ya namah
Dan pada waktu Memegang
bunga atau kwangen tidak selalu di ujung jari tengah kanan dan kiri, tetapi
juga di jari yang lain, misalnya kalau memakai kwangen, tentu tidak kuat kalau
hanya dipegang di kedua ujung jari itu. Yang penting:
Usahakan agar ujung bunga/ kwangen tidak
melewati ubun-ubun (Siva dvar = Siwadware)._Kedua telapak tangan menyatu (mencakup) sebagai simbol
penyatuan ‘shakti’ dan ‘dharma’._Patut
pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana
persembahan.
Agaknya perlu juga
dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara
wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras
sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini
diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas
sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu
diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu
atau serbuk. Kata "bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas
dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam
bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh
orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh
Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya
dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini
adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih
bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana
untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).
0 komentar:
Posting Komentar