SIAT SAMPIAN
Berlokasi
di Pura Samuan Tiga, Bedulu Gianyar, setiap tahun rutin dilaksanakan
tradisi/upacara Siat Sampian yang merupakan rentetan upakara karya di
pura tersebut. Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali ini juga
menarik perhatiann wisatawan asing. Moment Perang Siat Sampian ini juga
diabadikan puluhan photographer baik asing maupun lokal.
Sebelum tradisi ini dimulai, dilakukan
upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan
warga mengelilingi areal pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka
seperti burung gagak (goak).
Prosesi ini diikuti oleh para permas
atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura
setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai
dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang
berjumlah 46 orang, serta laki-laki atau sameton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang melakukan upacara Ngombak (melakukann gerakan seperti ombak).
Upacara ini dilakukan dengan cara
berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak.
Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung
mengambil sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya.
“Nampiog, Ngober, Meguak-guakan dan
Ngombak merupakan suatu proses penyucian sebelum upacara Siat Sampian
dilakukan,” kata I Wayan Patra, tokoh adat di Pura Samuan Tiga dalam
suatu kesempatan.
Lalu apa makna yang terkandung dalam tradisi “Siat Sampian” ini?
“Sampian itu merupakan lambang senjata
Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma
(kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk
mengenyahkan Adharma atau kejahatan dari muka bumi,” jelas Patra.
Selain simbol perang terhadap kejahatan, siat sampian
juga untuk merayakan bersatunya berbagai sekte keagamaan (Hindu) di
Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin.
Pada abad ke-10 Masehi, di Pura ini
digelar pertemuan besar antar berbagai sekte Hindu yang ada di Bali
dengan mediator pemerintah yang berkuasa di Bali waktu itu. Pertemuan
ini menyepakati penyudahan konflik antar sekte Hindu di Bali dan menjadi
awal konsep pura Tri Kahyangan Jagat di Bali, serta penerimaan konsep
Tri Murti (Tiga Dewa Utama) di setiap desa yang ada di Bali.
“Pada intinya, Siat Sampian itu bermakna untuk menyucikan Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit (bumi),” jelas Patra.
0 komentar:
Posting Komentar