SUSILA DALAM AGAMA HINDU
- A. Pendahuluan
Ajaran agama Hindu merupakan ajaran yang bersifat komprehensif, dalam
arti tidak saja mengurusi/mengajarkan bagaimana memuja Ida Sang Hyang
Widhi, tetapi juga berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia. Inti
ajaran agama Hindu terdiri dari tiga bagian yang disebut Tri Kerangka
agama Hindu. Tri Kerangka agama Hindu tersebut terdiri dari tattwa
(filsafat), susila (etika) dan ucapan (ritual). Ketiga aspek ini
merupakan satu jalinan yang sangat erat hubungannya dan satu dengan yang
lain saling isi-mengisi. Jika diibaratkan seperti sebutir telur,
upacara adalah kulit telur, susila adalah putih telur, dan tattwa adalah
kuning telur. Bila salah satu bagian ini tidak ada atau rusak maka
telur tersebut akan rusak. Begitu juga pengetahuan/tatwa yang tinggi
jika tidak diimbangi oleh etika yang memadai maka hidup ini tidak akan
harmonis.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri,
selalu ketergantungan satu dengan yang lainnya. Dalam hidup bersama ini
diperlukan adanya suatu peraturan-peraturan untuk mengatur kehidupan
ini. Peraturan atau pedoman dalam bertingkah laku yang baik disebut tata
susila.
Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta yang teridi dari kata “Su”
artinya baik. Dan “Sila” artinya tingkah laku. Jadi susila adalah
tingkah laku yang baik. Di dalam kitab Wraspati tattwa, 26 dinyatakan
mengenai arti kata sila dalam kalimat : “Sila ngaranya angraksa acara rahayu”. Kata susila mengandung pengertian perbuatan baik atau tingkah laku yang baik.
Agama adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal, ibarat bangunan
jika landasan atau pondasinya tidak kokoh maka niscaya bangunan tersebut
akan mudah roboh. Jika tata susila sudah dibangun atas dasar agama
sebagai landasannya yang kokoh dan kekal, maka tata susila itu akan
mendalam dan meresap dalam pribadi seseorang. Ajaran tata susila yang
berdasarkan ajaran agama, seperti tertera dalam kitab-kitab Upanisad
atau Tattwa, menyatakan suatu dalil yang mengakui tunggalnya Jiwatman (roh) semua makhul dengan Tuhan (Paramatma).
Dengan adanya ini maka kita akan merasakan suatu renungan kebijaksanaan
yang mendalam, bahwa kita sebenarnya adalah satu dan sama dengan
makhluk lainnya.
Sang Hyang Widhi Wasa adalah tunggal dan berada di mana-mana yang
menjadi dasar hidup ciptaan-Nya yang terpisah-pisah dan beraneka ragam
macamnya. Begitulah Jiwatman dalam semua makhluk terpisah satu dengan
yang lainnya dengan bentuk badan yang berbeda-beda, yang pada dasarnya
dihidupkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan tunggalnya Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dengan Jiwatman, maka berarti pula
tunggalnya antara Jiwatman seseorang dengan Jiwatman orang lain.
Jadi prinsip dasar dari susila Hindu adalah adanya satu Atman yang
meresapi segalanya. Ia merupakan roh terdalam dari semua makhluk, yang
merupakan kesadaran murni. Bila kamu merugikan tetanggamu sebenarnya
kamu merugikan dirimu sendiri. Bila kamu merungikan makhluk hidup
lainnya, sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri, karena segenap alam
tiada lain adalah dirimu sendiri. Inilah ajaran susila Hindu yang
merupakan dasar kebenaran methapisik yang mendasari segala kode etik
Hindu. Atman atau sang diri adalah satu. Satu kehidupan bergetar dalam
semua makhluk.
Dari semua makhluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk hanyalah manusia. Karena
di antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk paling istimewa,
makhluk yang paling sempurna karena memiliki Tri Pramana (bayu, sabda,
idep). Dengan idep manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik.
Menyadari hal tersebut maka janganlah sia-siakan kesempatan lahir
sebagai manusia untuk berbuat baik (susila), agar tujuan kita lahir ke
dunia bisa tercapai. Dalam kitab Sarasamuscaya, sloka 160 disebutkan
sebagai berikut :
“Silam pradhanam puruse tadyaseha pranasyati, na tasya
jivitenartho duh silam kinprayojanam, Sila ktikang pradhana ring dadi
wwang, hana prawrtti ning dadi wwang dussila, aparan ta prayojananika
ring hurip, ring wibha, ring kaprajinan, apan wyartha ika kabeh, yan tan
hana silayukti”.
Artinya :
Susila itu adalah yang paling utama, pada titisan sebagai manusia.
Jika ada perilaku titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah
maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan
kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya jika tidak ada kesusilaan.
Ajaran susila hendaknya terapkan di dalam kehidupan kita di dunia
ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma. Pembenahan diri
sendiri merupakan prioritas yang utama, di samping pembenahan diri dalam
hubungan dengan orang lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik
ke sorga. Oleh karena itu, kesempatan ini kita abdikan untuk
meningkatkan diri dalam kebijakan agar tidak jatuh ke neraca. Untuk
dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat
baik dan mulia yang ada pada dirinya.
Tata susila membina watak manusia agar menjadi anggota keluarga yang
baik, anggota masyarakat yang baik, anggota/putra bangsa yang berbudi
pekerti luhur, berkeperibadian mulia sehingga mencapai kebahagiaan
abadi. Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi hanya dapat dinikmati
bila roh (Jiwatman) seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Ida Sang
Hyang Widhi, karena hanya dengan kesatuan antara Jiwatman dengan Ida
Sang Hyang Widhi itu saja yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi
oleh perasaan tenang dan tentram yang dilukiskan dengan istilah anandha, suka tanpa wali duka.
Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yaitu
kecenderungan berbuat baik dan kecenderungan berbuat buruk. Sri Kresna
di dalam kitab Bhagawadgita membagi kecenderungan budhi manusia menjadi
dua bagian, yaitu :
- Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
- Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Daiwi Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan
antara sesama manusia. Sifat-sifat ini perlu dibina, seperti diungkapkan
di dalam kitab Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5 yang berbunyi sebagai
berikut :
“Abhayam sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca swadhyayas tapa arjawam”.
Artinya :
Tidak mengenal takut, berjiwa murni, giat untuk mencapai
kebijaksanaan dan yoga, berderma, menguasai indria, berkorban,
mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantang dan jujur.
“Tejahksama dhrtih saucam adhro na ‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya bharata”.
Artinya :
Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas
rasa kesombongan, ini tertolong pada orang yang lahir dengan sifat-sifat
dewata, oh Arjuna.
“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si pandawa.
Artinya :
Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatan memimpin ke arah moksa dan
yang bersifat setan ke arah Ikatan. Jangan bersedh hati, oh pandawa
(Arjuna), engkau dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.
Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk)
yang harus kita hindari dijelaskan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.4, 17
dan 21 yang berbunyi sebagai berikut :
“Tambho darpo bhimanas krodah parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan asur.
(Bhawadgita, XVI.4)
Artinya :
Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh,
semuanya ini adalah tergolong yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa
(Asuri Sampad),oh Arjuna.
“Atma sambhawatah stabdha dhana mana madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena widhipurvakam.”
(Bhawadgita, XVI.17)
Artinya :
Menganggap dirinya yang terpenting, keras kepala, penuh dengan
kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya ini adalah
bertentangan dengan ajaran kitab suci.
“Trivihdam narakasyedam dvaram nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad etat trayam trajett.”
(Bhawadgita, XVI.21)
Artinya :
Ada tiga gerbang pintu neraka yang meruntuhkan Atma, yaitu nafsu,
sifat pemarah dan loba. Oleh karena itu, orang harus menghindari
ketiganya itu.
Oleh karena itu, setiap perbuatan baik dan tidak baik yang dilakukan
oleh seseorang kepada orang lain, berarti juga berbuat baik atau tidak
baik kepada dirinya sendiri. Maka dari itu timbul suatu ajaran yang
disebut Tat Twam Asi. Tat Twam Asi
berarti itu adalah engkau (Tuan), semua makhluk itu adalah Engkau,
Engkaulah awal mula roh (Jiwatman) dan Sat (Prakerti) semua makhluk.
Hamba ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu
Jiwatmanku dan Prakertiku tunggal dengan Jiwatman dan Prakerti semua
makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”.
Demikianlah terscantum di dalam kitab Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran
susila merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan kita sebagai
manusia agar terwujud hubungan yang harmonis antara satu dengan yang
lainnya. Ajaran susila ini hendaknya diusahakan oleh setiap manusia.
Demikian harus kita sadari, betapa pentingnya ajaran tata susila itu
kita terapkan. Tata susila pada dasarnya bertujuan untuk membina
hubungan yang selaras / rukun antara seseorang (Jiwatman) dengan mahluk
lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat, antara satu bangsa dengan
bangsa lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Timbullah sifat-sifat Daiwi sampad dan Asuri sampad pada diri manusia
disebabkan oleh beberapa faktor, bisa faktor intern, bisa dari faktor
extern dan bisa juga dari kedua faktor tersebut. Berkaitan dengan
keharmonisan hidup agama Hindu mengarahkan kita untuk selalu menumbuh
kembangkan sifat-sifat Daiwi Sampad.
- B. Tri Guna
- 1. Pengertian
Triguna ini merupakan tiga macam elemen atau nilai-nilai yang ada
hubungannya dengan karakter dari mahluk hidup khususnya manusia. Tri
Guna adalah tiga macam sifat manusia yang mempengaruhi kehidupan
manusia. Triguna ini terdapat pada setiap orang hanya saja ukurannya
berbeda-beda. Tri Guna adalah bagian dari Prakerti dan apabila prakerti
bertemu dengan Purusa maka Tri Guna akan mulai beraktivitas dan ketiga
dari unsur-unsur Tri Guna tersebut berkeinginan saling menguasai satu
dengan yang lainnya.
Manusia di dalam bertingkah laku sangat dipengaruhi oleh tiga sufat yang disebut Tri Guna, yang terdiri dari :
- a. Satwam/satwa adalah sifat tenang
- Rajas/rajah adalah sifat dinamis
- Tamas/tamah adalah sifat lambah
Dalam kitab Wrhaspati tatwa sloka 15 dijelaskan sebagai berikut :
“Lagha prakasakam sattwam cuncalam tu rajah dthiyam
Tamo guru waranakam ityetaccinta laksanan,
Ikang citta mahangan mawa, yela sattwa ngarannnya
Ikang madrss malah, yeka rajah ngarananya, ikang abwat peteng, yeka tamah ngaranya.”
Artinya :
Artinya :
Pikiran yang ringan dan terang, itu sattwam namanya, yang bergerak
cepar, itu rajah namanya, yang berat serta gelap, itulah tamah namanya.
Tri Guna merupakan tiga macam elemen/nilai-nilai yang ada pada setiap
manusia yang dibawa sejak lahir. Tri Guna merupakan bagian dari
Prakerti / Pradhana yang baru akan aktif bila Prakerti sudah bertemu
dengan Pradhana. Dan setelah aktif masing-masing dari bagian Tri Guna
tersebut akan bersaing menguasai satu dengan yang lainnya
- 2. Pengaruh Tri Guna Terhadap Kepribadian Manusia
Tri Guna ini merupakan tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan
manusia, sehingga dapat kita lihat di dunia ini ada bermacam-macam.
Kecenderungan sifat manusia. Ada orang yang berpenampilan lemah lembut
selalu ramah, dan menyenangkan bagi yang melihat. Namun ada juga orang
yang rajin, kreatif serta energik dalam kehidupannya. Selain hal
tersebut di atas tidak jarang juga kita melihat ada orang yang
penampilannya awut-awuran, tidak terururs serta pemalas. Semua
penampilan tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari bagian-bagian
Tri Guna yang tidak seimbang.
Beberapa sloka dalam kitab suci yang memabahas tentang pengaruh Tri Guna terhadap kepribadian manusia adalah sebagai berikut :
“Yan satwawika ikang citta, ya hetuning atma pamunggihaken
kamoksan, apan ya nirmala, dumeh ya gumawayaken rasaning agama lawan
wekas ning guru
(Wrghaspati tattwa, 20)
Artinya :
Apabila sattwa citta itu, Itulah Atma menemukan kamoksaan, atau
kelepasan oleh karena itu ia suci, menyebabkan ia melaksanakan ajaran
agama dan petuah guru.
Yapwan pada gong nikang sattwa lawan rajah, yeka matangnyan
mahyun mugawaya dhama denya, kedadi pwakang dharma denyu kalih, ya ta
matangnyun mudih ring swarga, apan ikang sattwa mahyun ing gawe hayu,
ikang rajah manglakwaken”
(Wgraspati tatwa, 20)
Artinya :
Apabila sama besarnya anatara sattwam dan rajah, itulah menyebabkan
ingin mengamalkan dharma olehnya, berhasilah dharma itu olehnya berdua,
itulah menyebabkan pulang ke sorga, sebab sattwam ingin berbauat baik,
si rajah itu yang melaksanakan.
Yan pada gingnta katelum ikang sattwa, rajah, tamah, ya ta matangnyan pangjadma manusia, apaan pada wineh kahyunya”
(Wraspati tatwa, 22)
Artinya :
Apabila sama besarnya ketiga Guna, Sattwan, Rajah, dan Tamah itu,
itulah yang menyebabkan penjelmaan manusia karena sama memberikan
kehendaknya / keinginannya.
“Yapwan citta si rajah magong, kridha kewala, sakti pwa ting gawe hela, tat a getening Atma tibeng naraka”
(Wrhspati tattwa, 23)
Artinya :
Apabila citta si rajah besar, hanya marah kuat pada perbuatan jahat, itulah yang menyebabkan jatuh ke neraca.
Berdasarkan sloka tersebut di atas maka jelaskah yang menyebabkan
adanya perbedaan kelahiranitu adalah Tri Guna (sattwam, rajah, dan
tamah) karena lahir dari Tri Guna dan dari karma muncul suka duka.
Demikianlah penjelasan beberapa sloka kita Wrhaspati tattwa, yang
pada dasarnya menyatakan bahwa Tri Guna ada pada setiap prnag hanya saja
dalam ukuran yang berbeda-beda. Orang yang lebih banyak dipengaruhi
oleh guna sattwam, maka ia menjadi orang yang bijaksana, berpikiran
terang dan tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut, lurus hati juga
merupakan sifat sattwam. Jika guna rajah lebih banyak mempengaruhi
seseorang maka orang tersebut menjadi tangkas, keras, rajin dan penuh
usaha. Sifat congkak dan iri, bengis merupakan sifat-sifat rajah. Namun
bila guna tamaha lebih banyak berpengaruh pada diri seseorang maka orang
tersebut menjadi lamba, malas dan bodoh. Sifat-sifat doyan makan,
mengumbar hawa nafsu juga termasuk sifat-sifat tamah. Di dunia ini tak
seorang pun yang luput dari Tri Guna. Ketiga Guna tersebut merupakan
satu kesatyan yang bekerja sama dalam kekuatan yang berbeda-beda.
Perpisahan diantara tiga guna itu tidak mungkin terjadi karena dengan
demikian tidak akan ada suatu gerak apapun pada manusia. Dan pengaruh
Tri Guna tersebut maka sifat-sifat orang itu ada yang digolongkan
sifat-sifat yang baik dan ada yang buruk.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Tri Guna pada hakekatnya
merupakan bagian dari prakerti/predhana, sebagai asas kebedaan. Bila
Purusa bertemu dengan Prakerti maka Tri Guna mulai aktif dan ingin
saling menguasai. Apabila kekuatan sattwam menngunguli rajah dan tamah,
maka Atma mencapai moksa / kelepasan. Bila sattwam dan rajah sama
kuatnya, maka Atma mencapai sorga. Jika kekuatan sattwam, rajah dan
Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah
yang lebih unggul dari sattwam, Rajah dan Tamah berimbang, maka
menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul
dari Sattwam dan Tamah, menyebabkan Atma jatuh ke alam neraca . Apabila
sifat tamah yang lebih unggul dari Sattwam dan rajah , maka Atma
menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Dari penjelasan tersebut, kita mempunyai pengetahuan bahwa Tri Guna
sangat berpengagruh terhadap baik-buruknyakehdiupan manusia. Manusia
hendaknya mampu mengendalikan Tri Guna ini dengan baik, menggunakan
sattwam sebagai pengendali, sehingga Tri Guna akan memebirkan manfaat
pada diri manusia. Kendalikanlah guna rajah dan tamah ke arah Sattwam,
karena bilatamah membesar pada citta kita maka kana menyebabkan Atma
mengalami kemerosostan dan menjelma menjadi binatang. Sungguh hal yang
kita hindari.
- C. Dasa Mala
Dalam Kitab Bhagawadgita telah disebutkan bahwa pada dasarnya
kecederungan budhi manusia ada dua jenis yaitu Daiwa Sampad dan Asuri
Sampad. Asuri sampad adalah kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat
tidak baik (Asubha Karma). Banyal perilaku yang tidak baik yang perlu
kita hindari, dan bahkan dalam ajaran agama Hindu perbuatan-perbuatan
yang tidak baik digolongkan Adharma dan merupakan musuh dalam diri
manusia. Ada beberapa kelompok musuh di dalam diri manusia yaiti : Tri
Mala, Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dan Dasa Mala. Dasa Mala
adalah sepuluh macam sifat-sifat yang kotor/tidak baik, yang perlu kita
hindari karena tergolong Asubha Karma.
Dasa Mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan
yang bertentangan dengan susila, yang cenderung kepada kejahatan. Semua
perbuatan yang bertentangan dengan susila hendaknya kita hindari dalam
hidup ini agar terhindar dari penderitaan. Adapun pembagian dari Dasa
Mala tersebut adalah sebagai berikut :
- Tandri artinya yang malas, suka makan dan tidur saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan kejahatan sikap malas adalah sikap yang dibenci oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena sikap ini merupakan pintu penghalang untuk mencapai tujuan hidup. Misi kita hidup ke dunia ini adalah melakukan kerja. Jika ada orang yang lahir ke dunia ini tidak mau melakukan pekerjaan (malas) mala sia-sialah dia hidup, ia tidak akan bisa mencapai Kesempurnaan hidup. Hilangkan sifat bermalas-malas karena tidak ada tujuan yang dapat dicnapai dengan hanya berdiam diri, bahkan sifat malas akan makin menjauhkan Atma dengan Paramatma. Oleh karena itu hilangkanlah sifat malas itu lakukanlah tugas dan kewajiban sehingga kita bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
- Kleda artinya berputus asa, suka menunda dan tidak mau memahami maskud orang lain.
Sifat putus asa, suka menunda-nunda suatu pekerjaan tergolong sikap
yang didominasi oleh sifat-sifat tamas. Orang yang dalam kehidupannaya
lebih banyak dikuasai oleh sifat-sifat tamas akan menyebabkan Atma jatuh
ke alam neraka. Apabila sifat tamas ini lebih unggul dari sattwam dari
rajas, maka Atma akan menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Oleh karena kleda ini merupakan penghapang untuk maju/untuk mencapai
Kesempurnaan hidup, maka kita harus mengendalikannya. Jangan cepat
terputus asa dalam melakukan pekerjaan, jangan suka menunda-nuda waktu
untuk melakukan tugas dna kewajiban karena hidup kita hanya sebentar.
- Leja artinya berpikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan
kejahatan. Pikrian paling menentukan kualitas perilaku manusia dalam
kehidupan di dunia ini. Pikirkanlah yang mengatur gerak sepuluh indria
sehingga disebut Raja Indria. Kalai Raja Indria tidak baik maka indria
tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula. Oleh
karena itu marilah jaga kesucian pikiran kita jangan sampai ternoda dan
menjadi gelap. Pikiran gelap, pikiran yang dikuasai oleh gejolak hawa
nafsu sangat merugikan diri kita maupun orang lmain. Upayakan untuk
menjaga pikiran agar tidak gelap/tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Ada
tiga cara untuk menjaga kesucian pikiran yaitu :
- Si tan engin adengkya ri drbyaning len, artinya tidak menginginkan milik orang lain.
- Si tan krodha ring sarwa sattwa, artinya tidak membenci semua mahluk.
- Si mamituha ring haning karmaphala, artinya orang yang amat yakin pada kebenaran hukum karmaphala.
- Kitula artinya menyakiti orang lain, pemabuk dan peniru
Menyakiti dan membunuh mahluk lain, lebih-lebih manusia merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Kutila juga berarti
pemabuk. Orang yang suka mabuk maka pikirannya akan menjadi gelap.
Pikiran yang gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-hal yang
bersifat negatif termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainua.
Di dalam pergaulan ini akan membawa pahala buruk baik pada kehidupan
sekarang maupun pada kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu marilah
kita ubah himsa karma menjadi ahimsa karma. Ahimsa (tanpa kekerasan)
berarti menghilangkan yang menyebabkan mahluk lain menderita, agar
kehidupan kita menjadi tenang, tentram dan bahagia.
- Kubaka artinya pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan dan keras kepala. Bila kita emosi atau marah, kita mengeluarkan cairan adrenalin dalam darah kita. Ini memiliki pengaruh penurunan kekebalan pada badan kita sehingga kita akan menjadi sakot. Sebaliknya bila kita dipenuhi dengan kasih sayang dan kedamaian dalam pikiran, maka kita akan mengeluarkan cairan endorfin yang dapat menambah sistem kekebala tubuh sehingga dapat mencegah penyakit. Kita harus mengatasi kemarahan dan kebencian yang ada dalam diri kita dengan mengendalikan emosi sehingga kedamaian hidup dapat tercapai.
- Metraya adalah suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati dan suka menggoda istri orang lain. Perkataan yang diucapkan dengan maksud jahat akan dapat menyakiti orang lain bahkan bisa menyebabkan kematian baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri (Wasita nimittanta pati kepangguh). Oleh sebab itu martilah kendalikan kata-kata kita agar terdengar manis dan mengejutkan, lemah-lembut, ospan, sehingga dapat menyenangkan orang lain dan diri sendiri (Wasita nimittanta manemu laksmi. Ada empat macam pengendalian kata-kata yaitu :
- Tidak suka mencaci maki
- Tidak berkata kasar pada orang lain
- Tidak memfitnah
- Tidak ingkar janji (tidak berbohong)
- Megara artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih
Perbuatan jahat tergolong asubha karma dan perbuatan ini akan merupakan penghalang untuk mencapai tujuan rohani.
Ada tiga macam pengendalian perbuatan agar tercapai tujuan keharmonisan, yaitu :
- Tidak menyiksa/membunuh mahluk lain
- Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda orang lain (tidak mencari)
- Tidak berzina
- Ragastri artinya bernafsu dan suka memperkosa
Ragasti merupakan sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran agama.
Sifat-sifat seperti itu sifat-sifat asuri sempat/sifat-sifat
keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah perbuatan terkutuk
dan hina. Sifat-sifat suka memperkosa harus dihindari untuk menjaga agar
tidak terjadi kemerosotan moral. Jika ragastri dibiarkan maka akan
menambah banyak terjadi perbuatan tuna susila. Untuk melenyapkan
sifat-sifat itu kita hendaknya berusaha untuk mengendalikan dan
menghindarinya, serta mengisi diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif
dan bisa menuntut jiwa bersatu dengan Ida snag Hyang Widhi Wasa.
- Bhaksa Bhuana artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berpoya-poya.
Berpoya-poya berarti mempergunakan harta melebihi batas normal. Hal
ini tidak baik dan melanggar dharma, yang dapat berakibat tidak baik
pula. Sering kita lihat di masyarakat , bahwa kekayaan yang berlimpah
jika penggunaannya tidak didasari oleh dharma pada akhirnya justru
menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari wanita
penghibur dan sebagainya, selain menuntun budi pekerti kita berpla hidup
sederhana akan bisa juga meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan
baik lahir maupun batin.
10. Kimharu artinya penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak
pandang bulu, pendengki dan irihari. Sifat dengki dari iri hati
merupakan salah satu sifat yang kurang baik (Asubha Karma). Sifat Ini
patut dihilangkan dari diri seseorang itu. Bahkan saking kuatnya sifat
dengki dan iri hati bercokol pada diri seseorang, diperlukan upaya yang
kuat pula untuk mengalahkannaya. Karena itu dia katakana sebagai salah
satu musuh dalam diri manusia out. Ingat Sadi Ripu (musuh yang enam
jumlahnya dalam diri manusia itu, yang patut dikalahkan yaitu, Kama,
Loba Krodha, Mada, moha dan Matsarya). Matsarya adakah sifat dengki dan
iri hati juga termasuk salah satu sifat kurang simpatik tetapi juga
kurang baik. Bisa juga tidak etis. Sifat dengki dan iri hati juga
termasuk salah satu sifat yang kotor dari sepuluh macam sifat kotor
(Dasa Mala) lainnya yang perlu kita kendalikan agar tercapai kesucian
diri serta dapat bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Demikianlah sepuluh yang menyebabkan manusia tersesat dan jatuh ke
neraka. Sadarilah hal tersebut dan dihindari Dasa Mala itu sehingga
tujuan kita untuk mewujudkan meoksartham jagadhita yang ca iti dharma
dapat terwujud. Adapun caranya sangat sederhana, yaitu dengan berbuat
baik, kurnagi keterikatan terhadap benda-benda duniawai, tumbuhan rasa
kasih sayang kepada sesama serta tidak mementingkan diri sendiri.
Di zaman kaliyuga ini kelihatan Dasa Mala tumbuh dengan suburnya di
hati manusia. Hal ini bisa kita lihat dalam masyarakat begitu banyaknya
kejahatan-kejahatan yang terjadi. Tindak kejahatan terjadi akibat dari
sangat kurangnya pengendalian diri, keterikatan terhadap benda-benda
duniawi yang begitu besar sehingga sering tanpa Disadari merugikan
orang lain. Orang banyak mencari popularitas dengan menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan, seperti kasus pengeboman di beberapa
daerah di Indonesia. Para terdakwa dengan penuh senyum tawa bangga dapat
melakukan perbuatan tersebut dan sedikitpun tidak memeprkihatkan rasa
penyesalan atas peristiwa yang menelan ratusan korban jiwa. Belum genap
setahun tragedy bom bali, terjadi peristiwa yang menggegerkan kota
Jakatta dengan terjadi bom di Hotel JW Mariot Jakarta, pada tanggal 5
Agustus 2003. Ini menunjukkan bahwa orang seperti itu sudah diliputi
oleh Dasa Mala terutama Leja (pikiran gelap, bernafsu besar dan gembira
melakukan kejahatan).
Di era reformasi ini, orang mulai bebas berbicara, sering berkata
sembarangan, saling mencari maki, memfitnah yang dapat menimbulkan
akibat yang fatal, seperti rumah dibakar dan terbunuhnya orang lain.
Tidak jarang ada pula orang yang berkata manis namun hatinya sepahit
empedu. Apa yang dikatakan bohong belaka. Kata manis yang diucapkan
hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau
kelompok. Akibat dari keterikatan diri terhadap benda-benda duniawi,
banyak orang mulai menghalalkan segala cara untuk memuaskan diri
,seperti melakukan penipuan, pemerasan, dan perampokan. Hasil kejahatan
tersebut tidak jarang dipergunakan untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan,
membeli narkotik, dan kemudian melakukan pemerkosaan.
Pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi, orang tidak lagi
menghormati orang lain, banyak siswa tidak lagi hormat kepada guru, dan
banyak anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Pelecehan seksual
sering terjadi, bahkan orang tua memperkosa anak kandungnya sendiri.
Berita di televise setiap hari menanyangkan orang-orang yang terlibat
tindak criminal, seperti perampokan, pemerkosaan, lebih-lebih yang
terlibat perdagangan narkotik yang sulit diselesaikan seperti patah satu
tumbuh seribu. Pembunuhan terjadi dimana-mana, sepertinya sudah menjadi
pemandangan yang biasa. HAM sudah tidak dihargai lagi bahkan sering
diinjak-injak. Banyak manusia tidak lagi memikirkan etika, sopan santun,
dan tata karma. Di zaman kali yuga ini artha di agung-agungkan,
seolah-olah artha menduduki tingkat pertama dan merupakan
segala-galanya, seperti disebutkan did alam kitab Nitisastra IV.7
sebagai berikut :
Singih yan tekaning yuganta kali tanhana lewuha sakeng mahadhana,
tan walanguna curu pandita widagha pada mangayap ing dhacewara,
sakwehning inasya san wiku hilang, kulu ratu pada hna kasyasih,
putradewa pita ninda ring bapa si cudra banija, wara wiryapandita”
Artinya :
Sesungguhnya bila zaman kali datang pada akhir yuga hanya kekayaan
yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa orang yang saleh, orang
yang pandai akan mengabdi kepada orang yang kaya. Semua pelajaran
Pendeta yanggaib-gaib dilupakan orang, keluarga-keluarga yang baik dan
raja-raja menjadi hina paa. Anak-anak akan menipu dan mengumpat orang
tuanya, irang hina akan menjadi saudagar, terdapat kemuliaan dan
kepandaian.
0 komentar:
Posting Komentar